Wednesday, February 13, 2013

Perdagangan Berjangka Halal Atau Tidak


Perdagangan Berjangka adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan jual beli komoditas dengan penyerahan kemudian berdasarkan Kontrak Berjangka dan opsi atas Kontrak Berjangka.
Bagimanakah pandangan Islam mengenai perdagangan berjangka ini?
Simak terus ya..
Sebagian umat Islam meragukan kehalalan praktik perdagangan berjangka. Bagaimana menurut padangan para pakar Islam?
Jangan engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu,” sabda Nabi Muhammad SAW, dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah. Oleh sementara fuqaha (ahli fiqih Islam), hadits tersebut ditafsirkan secara sakelek. Pokoknya, setiap praktik jual beli yang tidak ada barangnya pada waktu akad, haram. Penafsiran secara demikian itu, tak pelak lagi, membuat fiqih Islam sulit untuk memenuhi tuntutan jaman yang terus berkembang dengan perubahan-perubahannya.
Karena itu, sejumlah ulama klasik yang terkenal dengan pemikiran cemerlangnya, menentang cara penafsiran yang terkesan sempit tersebut. Misalnya, Ibn al-Qayyim. Ulama bermazhab Hambali ini berpendapat, bahwa tidak benar jual-beli barang yang tidak ada dilarang. Baik dalam Al Qur’an,sunnah maupun fatwa para sahabat, larangan itu tidak ada.
Dalam Sunnah Nabi, hanya terdapat larangan menjual barang yang belum ada, sebagaimana larangan beberapa barang yang sudah ada pada waktu akad. “Causa legis atau ilat larangan tersebut bukan ada atau tidak adanya barang, melainkan garar,” ujar Dr. Syamsul Anwar, MA dari IAIN SUKA Yogyakarta menjelaskan pendapat Ibn al-Qayyim. Garar adalah ketidakpastian tentang apakah barang yang diperjual-belikan itu dapat diserahkan atau tidak. Misalnya, seseorang menjual unta yang hilang. Atau menjual barang milik orang lain, padahal tidak diberi kewenangan oleh yang bersangkutan.
Jadi, meskipun pada waktu akad barangnya tidak ada, namun ada kepastian diadakan pada waktu diperlukan sehingga bisa diserahkan kepada pembeli, maka jual beli tersebut sah. Sebaliknya, kendati barangnya sudah ada tapi —karena satu dan lain hal— tidak mungkin diserahkan kepada pembeli, maka jual beli itu tidak sah.

Perdagangan berjangka, jelas, bukan garar. Sebab, dalam kontrak berjangkanya, jenis komoditi yang dijual-belikan sudah ditentukan. Begitu juga dengan jumlah, mutu, tempat dan waktu penyerahannya. Semuanya berjalan di atas rel aturan resmi yang ketat, sebagai antisipasi terjadinya praktek penyimpangan berupa penipuan —satu hal yang sebetulnya bisa juga terjadi pada praktik jual-beli konvensional.

Mirip Bursa Berjangka

Kalau ditelusuri, pada jaman Nabi Muhammad SAW sendiri, sudah ada praktik jual-beli yang mirip perdagangan berjangka, meskipun tentu saja jauh lebih sederhana. Seperti tercantum dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas. Suatu ketika, demikian hadits itu, Nabi datang ke kota Madinah, dan mendapati umatnya melakukan salam terhadap buah-buahan dalam waktu satu atau dua tahun. Lantas Nabi pun bersabda, “Barang siapa yang melakukan salam, maka hendaknya dalam takarannya, beratnya dan waktunya ditentukan.”
Mengutip penjelasan kitab fiqih yang disusun H. Sulaiman Rasyid, Drs H. Abdur Rachim, Dosen IAIN SUKA, mengatakan bahwa salam bisa didefinisikan sebagai menjual sesuatu yang tidak dilihat zatnya, hanya ditentukan dengan sifat barang itu ada dalam pengakuan (tanggungan) si penjual. Misalnya, kata si penjual, “Saya jual kepadamu satu meja tulis dari jati, besarnya 140 x 100 cm, tebal 75 cm, sepuluh laci dengan harga Rp 400”. Lantas, si pembeli bilang, “Saya beli meja dengan sifat tersebut, dengan harga Rp 400.” Dia menyerahkan uangnya sewaktu akad tersebut dilakukan, tapi mejanya belum ada.
Sementara itu Prof Asjmudi Abdurrahman dari Majelis Ulama Indonesia mengatakan, hadits dari Ibnu Abas di atas oleh sebagian ulama dijadikan dasar yang membolehkan jual-beli dengan penyerahan barang di kemudian hari. Asal, dalam pelaksanaannya memenuhi tiga syarat penting. Pertama, objek akad harus dijelaskan secara rinci baik jenisnya, ukurannya, maupun sifat-sifatnya. Kedua, Objek akad merupakan sesuatu yang telah biasa dilakukan oleh masyarakat. Dan ketiga, akad ini harus menyebutkan waktu yang tertentu.
Seorang ahli fiqih kontemporer dari Yordania, Mustafa Ahmad az-Zahra menyatakan, bahwa pandangan ulama Hanafiyyah yang membolehkan akad istina’ —istilah yang populer dalam fiqh, yang praktiknya sama dengan salam— sangat relevan di masa sekarang, untuk perdagangan komoditi. Sebab, pada umumnya, komoditi tersebut diproduksi sesuai pesanan, baik untuk skala lokal, nasional, regional maupun internasional.
Perdagangan berjangka sendiri, sebetulnya telah menjadi telaahan ahli fiqih sejak lama. Misalnya, pada 1954 Yusuf Musa membahasnya dalam kaitan bursa berjangka Iskandariyah, Mesir, yang memperdagangkan kapas sebagai salah satu komoditi pertanian negeri itu.
Menurut hasil analisanya, ada banyak perbedaan antara praktik salam di jaman Nabi dengan bursa berjangka. Namun demikian, Yusuf Musa —yang memegang doktrin Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim— dalam kesimpulkannya menegaskan, bahwa “Kontrak berjangka kapas di Mesir adalah sah secara syar’i dan tidak bertentangan sedikit pun dengan dasar-dasar dan asas-asas umum fiqih serta tujuan syariah.”

Hanya saja, Yusuf Musa tidak berbicara tentang hedging (lindung nilai atau at-tagtiah). Pembicaraannya cuma terfokus pada soal kontraknya saja, karena memang hedging sudah inheren di dalamnya. “Yang jelas, hedging berbeda dengan judi,” ujar Syamsul Anwar, “Karena itu, hedging dapat diterima dan mempunyai maslahat ekonomi yang besar.”

Manfaat Ekonomi

Manfaat atau maslahat ekonomi, memang, menjadi salah satu pertimbangan penting oleh para ahli fiqih, untuk menetapkan apakah praktik bursa berjangka dihalalkan atau diharamkan oleh Islam. Sebab, pada intinya, sesuatu yang dilarang oleh Islam adalah selalu yang cenderung mendatangkan kerugian atau mudharat.
Penyelenggaraan perdagangan berjangka, jelas, bisa memberikan manfaat yang luas, baik terhadap individu maupun pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Antara lain, lantaran ia mempunyai fungsi pembentukan harga (price discovery) yang transparan.
Memang benar, di sisi lain, kegiatan perdagangan berjangka bisa dikatakan berisiko tinggi. Tapi, tidak tepat jika lantas disimpulkan bahwa hal itu mengundang praktik spekulasi yang berbau judi. Jelas, ada banyak perbedaan fundamental antara perdagangan berjangka dengan judi, paling tidak jika dilihat dari manfaat ekonomi, penguasaan terhadap pengetahuan (kemampuan analisis) yang harus dimiliki, serta eksistensi risiko itu sendiri.
Kalau soal risiko, seperti kata orang bijak, kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dengan risiko. Persoalannya, bagaimana mengantisipasi atau meminimalisir kemungkinan terjadinya risiko itu. dalam perdagangan berjangka, justru hal itulah yang dilakukan, tepatnya, melalui hedging.

Alhasil, mestinya, tidak ada keraguan lagi bagi umat Islam untuk terlibat dalam kegiatan bursa berjangka.

Fiqih Islam tak Pernah Kuno

Sudah jelas, Nabi Muhammad SAW memberikan arahan bahwa dalam urusan dunia, manusia sebagai individu atau kelompok, memiliki kemampuan menangani dan menyelesaikannya, sesuai dengan zaman dan tantangan yang dihadapinya.
Manusia, dalam pandangan Islam, telah diciptakan dengan sempurna, sehingga dapat mengerti dan mampu menyelesaikan berbagai persoalan dalam urusan pemenuhan kebutuhan hidup di dunia, sesuai dengan arahan yang telah digariskan dalam Al Qur’an dan Al Hadits.
Kenyataan membuktikan, bergulirnya waktu telah menciptakan perubahan-perubahan baru. Bahkan, berkat revolusi teknologi informasi, belakangan ini perubahan tersebut berlangsung sangat cepat. Dan, terbukti juga, banyak tokoh Islam yang muncul untuk memberikan bimbingan, dengan pemikiran yang bersumber pada Al Qur’an dan Al Hadits.
Padahal, sudah pasti, ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits tidak pernah bertambah. Hal itu menunjukkan, bahwa kedua sumber hukum Islam tersebut selalu aktual. Jika memang perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia, betul-betul belum diatur dalam Al Qur’an dan hadits, masih tersedia ruang untuk berijtihad, dengan tetap mengindahkan prinsip-prinsip Islam.
diakui, merupakan bentuk perdagangan relatif baru dalam kehidupan manusia, terlebih masyarakat Indonesia. Memang, di jaman Nabi Muhammad, sudah ada kegiatan yang mirip dengan itu, seperti salam dan istina’. Tapi tidak persis betul.
Namun begitu, pada akhirnya, toh para pemikir Islam bisa menemukan argumentasi kuat, untuk membuktikan bahwa praktik perdagangan berjangka diperbolehkan oleh Islam. Rujukannya pun sangat kuat, mulai dari ayat Al Qur’an, Al Hadits sampai ijma ulama. Meskipun, tentu saja, tidak ada salahnya kita melakukan kajian khusus yang lebih mendalam lagi.
Bappebti bekerja sama Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, sudah memulainya dengan menggelar seminar bertajuk “Perdagangan Berjangka Komoditi Ditinjau dari Segi Hukum Islam”, 12 September 2001 lalu.
PUBLISHED IN:  ON 20 APRIL 2009 AT 9:23 AM  KOMENTAR (17)  
The URI to TrackBack this entry is:http://khalibran.wordpress.com/2009/04/20/perdagangan-berjangka-halal-atau-tidak/trackback/

No comments:

Post a Comment